Langkahnya terayun tanpa jiwa. Tubuhnya bergerak, tapi wajahnya kosong. Mata menatap tanah beku yang tidak lagi bermakna. Ia tidak tahu ke mana harus pergi. Ia tidak tahu mengapa masih hidupAyah berjalan. Tubuhnya utuh, tapi jiwanya patah.
Yang ia tahu hanya satu: AlaskaLangkah-langkahnya tidak memiliki tujuan. Hanya membelah salju yang terlalu diam, terlalu sunyi. Dunia di sekitarnya seperti kehilangan suara. Tidak ada burung. Tidak ada suara hembusan angin. Bahkan suara napasnya sendiri terasa asing. Ia hanya tahu satu arah: maju.
Langkahnya terseok di salju yang tebal, tubuhnya terguncang oleh hawa dingin yang menggigit. Darah dari lututnya telah membeku. Jari-jari kaku. Tapi ia terus berjalanIa tidak tahu sudah berapa jam berjalan. Atau hari. Waktu sudah menjadi abstrak.
Tanpa makan. Tanpa minum. Tanpa bicara.
Kakinya mulai berdarah. Sepatunya sudah tak berbentuk. Telapak kaki retak, berdarah, membeku. Ia sesekali terjatuh, menubruk batu atau batang kayu yang tertutup salju. Tapi ia bangkit. Tidak dengan semangat. Hanya karena tubuhnya tidak tahu cara menyerah.
Di kejauhan, langit tidak lagi biru. Tidak juga abu. Hanya putih pekat yang menyatu dengan tanah. Seolah dunia dilukis oleh tangan yang sama dengan satu warna saja: kehampaan.
Kumo tidak ada. Anak-anaknya tidak ada.Rumah itu sudah tidak ada.
Dunia pun seperti berhenti berputar. Lagu-lagu Voidling masih jauh di belakang. Tapi sunyi di depan pun tak membawa harapanIa menatap tangan kanannya. Telapak itu masih mengingat bagaimana rasanya menyentuh kepala anak sulungnya terakhir kali. Tangannya masih terasa menggenggam gas motor saat ia meninggalkan mereka. Dan sekarang tangan itu... hanya menggenggam dingin.
Akhirnya, tubuh itu jatuh. Wajahnya mencium tanah beku. Ia menangis tanpa suara, air mata membeku di pipi. Dan perlahan, kesadarannya menghilang, ditelan putihnya kehampaan.
Sesekali ia berhenti, berdiri di tempat, menatap cakrawala yang tidak menawarkan apa pun. Mungkin ia berharap melihat Oru di langit, atau Voidling di jalan, atau siapa pun... tapi tidak ada siapa-siapa.Ia berteriak. Namun suaranya tidak keluar. Air mata mengalir tanpa izin. Membeku di pipi. Matanya merah, tapi bukan karena menangis. Karena kehilangan arah.
Akhirnya ia roboh. Tubuhnya jatuh menyamping, wajahnya mencium es keras. Tidak ada tangan yang menangkap. Tidak ada suara yang menyahut. Ia hanya berbaring di sana seperti potongan tubuh tak bernyawa.
Di dalam kepalanya hanya gema satu kalimat: “Untuk apa aku hidup?”
Kesadarannya perlahan memudar.
Dan dunia kembali sunyi.
Terbangun di tempat asing sudah terlalu sering terjadi di dunia ini.
Namun kali ini, ayah terbangun bukan dalam dunia nyata. Ia tahu itu.
Tanah di sekitarnya mengambang. Udara seperti air. Langit seperti laut. Namun segalanya tenang. Seolah-olah ia sedang berada di dalam mimpi yang dibentuk oleh ingatan, kesedihan, dan ketakutan.
Di kejauhan, sesosok tinggi muncul perlahan dari kabut kosmik. Langkahnya nyaris tidak terdengar. Wujudnya menyerupai manusia yang duduk bersila, tinggi menjulang, kurus, dan melayang. Tak memiliki wajah. Namun di tempat wajahnya, ada pemandangan langit malam, galaksi-galaksi berputar perlahan di dalamnya. Di punggungnya, ada simbol—entah lambang atau makna dari keberadaan itu.
Ayah berdiri. Matanya menatap tanpa berkedip. Tenggorokannya tercekat.
Oru.
Untuk pertama kalinya, manusia dan Oru berhadapan.
Entitas itu tak bergerak. Tapi tiba-tiba, suara muncul. Bukan seperti suara biasa, melainkan lantunan kata yang turun seperti bait-bait puisi. Dalam, berat, dan indah... namun mengerikan dalam keheningan.
“Anak angin yang kehilangan sayap...
Mengapa melawan peluk damai? Bukankah luka akan lenyap,
Jika kau diam dalam dekapan?”
Ayah tidak mengerti sepenuhnya. Tapi hatinya terasa tertusuk. Setiap kata mengalun seperti bisikan dari surga yang palsu.
Ia membalas dengan suara parau. “Kau pembunuh.”
Oru diam.
“Semua orang... keluargaku... mereka semua kau ambil. Lalu kau nyanyikan lagu kematian. Itu bukan damai. Itu genosida. Itu kehancuran!”
Oru perlahan mengangkat tangan kanannya. Tidak mengancam, hanya menunjuk ke dada ayah. Suaranya kembali muncul.
“Yang kau sebut keluarga—telah tersenyum dalam tidur. Mereka tak lagi menangis. Mereka telah menjadi bagian dari bunga yang tak layu. Bukankah cinta adalah melepas—bukan menggenggam?”
Ayah menggertakkan giginya. Tapi ada celah di hatinya. Sebuah suara kecil yang mempertanyakan: “Apakah benar semua ini untuk kedamaian?”
Oru melanjutkan:
“Aku bukan penguasa, bukan pula penjajah. Aku hanyalah benih yang tumbuh di bumi rusak. Dan dari tanah yang busuk, aku menumbuhkan taman. Namun untuk taman hidup, gulma harus dibersihkan.”
Ayah mulai goyah. Genggamannya melemah. Tatapannya kabur.
Oru mendekat.
“Menjadi tanganku, menjadi mataku. Menjadi sang penyampai lagu. Kau bisa membawa damai, bukan duka. Bersatulah dalam diriku.”
Ayah merasa tubuhnya melayang. Dunia menjadi ringan. Wajah anak-anaknya... seperti tersenyum di antara kabut. Ia hampir mengangguk.
Namun tiba-tiba—
Teriakan. Guyuran air dingin.
Ayah terkejut, tubuhnya mengangkat dari tanah. Matanya terbuka. Napasnya memburu.
Ia tidak lagi di dunia itu. Ia kembali.
Beberapa orang berdiri di sekelilingnya. Satu dari mereka memegang ember kosong. Yang lain membawa senjata.
“Kau hidup,” kata salah satunya. “Kami menemukannmu di salju. Hampir beku. Ayo, kita harus pergi. Ke Alaska. Sekarang.”
Ayah hanya bisa terdiam. Tubuhnya menggigil. Namun satu hal pasti: Oru telah menyentuh pikirannya. Dan bekasnya belum tentu bisa dihapus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar