Halaman

Kamis, 03 Juli 2025

Seraphim. Part I

Dunia sudah terlalu banyak rusak. ini sudah terlalu lama menjerit. Udara dipenuhi debu kebencian, tanah penuh darah, dan hati manusia sekeras baja. Seorang pria—sebut saja Raka—berlari tergesa menuju kantornya. Ia terlambat. Lagi. Tapi pagi itu, waktu terasa tak pentingluka yang tak sembuh, dan jiwa manusia kian hari makin menyerupai baja: dingin, keras, dan tak lagi bergema.

Saat ia duduk, napas masih terengah, ia sadar… semua orang berdiri menatap ke luar jendela. Di antara kesibukan pagi yang seperti biasa, seorang pria bernama Raka berlari tergesa menuju kantornya. Ia terlambat. Lagi. Tapi pagi itu, waktu terasa tak penting. Langkahnya terhenti ketika tiba di lantai kerjanya. Semua rekan kerjanya berdiri mematung, menghadap ke jendela yang menghadap kota. Mereka membisu. Beberapa menganga. Ada pula yang mulai menangis.

"Ada apa?" gumamnya, lalu ia menoleh juga.

Raka ikut menoleh. Dan di sanalah dia melihatnya.

Langit… terbuka. Bukan oleh cahaya. Tapi oleh sosok.

Satu sosok. Jauh di langit. Terlalu besar untuk disebut manusia, terlalu tenang untuk disebut ancaman. Tingginya seperti menantang cakrawala. Ia duduk bersila, melayang di atas pusat kota. Tubuhnya kurus kering, bagaikan tulang yang dibalut kulit keabu-abuan.

Sosok tinggi, kurus, duduk bersila namun melayang. Wajahnya kosong, tak berfitur, namun di sanalah terekam gambaran kosmik: galaksi yang perlahan berputar, bintang-bintang mati, dan kehampaan yang berbicara dalam diam. Di punggungnya, menyala simbol yang tak dikenalWajahnya… tidak ada. Tak ada mata, hidung, bibir. Hanya permukaan datar yang menampilkan gambaran kosmik: pusaran galaksi yang bergerak perlahan, kilatan bintang yang padam dan menyala, dan kehampaan yang menghisap pandangan.

Namanya—tak diberi oleh manusiaDi punggungnya, bercahaya samar sebuah simbol. Tak dikenal. Tak bisa dijelaskan. Tapi seolah menyatu dengan langit.

Ia menyebut dirinya: Oru. Tidak berbicara. Ia tidak bergerak. Tapi kehadirannya… menggetarkan nadi semesta.Tak lama kemudian, langit mulai menyanyikan lagu. Nada tenang, lembut, sejuk. Membungkus setiap celah kota. Membelai jiwa. Dan satu demi satu, manusia mulai jatuh diam. Tidak tidur. Tidak pingsan. Mereka hanya... tunduk.

Sosok itu tidak memberi nama. Namun kemudian, suara muncul dalam pikiran semua makhluk hidup, serempak, lembut seperti bisikan alam:

“Oru.”

Raka duduk. Tangannya bergetar pelan. Sementara sekelilingnya—kolega, teman, orang-orang asing yang ia tak pernah sapa lebih dari sepatah kata—semuanya berdiri mematung, mata mereka masih tertuju ke luar jendela.Di luar, Oru melayang. Diam. Tak bergerak. Namun dari dirinya, sebuah lagu mengalun—merambat ke seluruh penjuru kota.

Nada itu lembut, mendalam, dan menghipnotis. Lagu tanpa bahasa, namun semua jiwa seperti memahaminya. Lagu itu tidak hanya terdengar, tapi terasa. Merambat dalam dada, membelai nadi, masuk ke sela-sela pikiran, membisiki bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Beberapa karyawan mulai menangis. Bukan karena takut. Tapi karena keindahan yang menyesakkan. Mata mereka berkaca, senyum samar terbit di wajah mereka. Ada yang bersimpuh, ada yang menadahkan tangan ke langit seolah baru saja melihat ilahi.

Namun Raka... masih bisa bergerak. Masih sadar. Hatinya berdegup kencang. Sejuk itu terasa palsu.

Dan kemudian...

Ia melihatnya.

Makhluk-makhluk kecil mulai berjalan keluar dari bawah tubuh Oru. Tubuh mereka tipis seperti ranting kering, tak memiliki wajah, dan kulitnya seakan tersusun dari jalinan akar dan cahaya. Mereka melangkah perlahan, dan setiap langkah menumbuhkan rumput serta bunga-bunga yang luar biasa indah.

Makhluk itu bernyanyi. Lagu yang sama. Nada yang sama. Dan kota mulai terisi oleh mereka.

"Apa itu…?" bisik Raka.

Orang-orang di luar mulai berjalan pelan. Mata kosong, wajah damai. Mereka mendekati Voidling seperti mendekati kekasih lama.

Voidling membuka tangannya. Dan dari tubuh mereka, muncul semacam benang kosmik. Benang itu menyelimuti manusia yang datang, membungkus tubuh mereka perlahan, seperti kepompong.

Raka mundur. Menabrak meja. Napasnya pendek.

Orang-orang di kantor mulai bergerak menuju pintu keluar. Termasuk atasannya. Teman kerjanya. Semua. Ia berteriak, "Berhenti! Hei!"

Tak ada yang menjawab.

Raka lari. Ia tidak sendiri. Beberapa orang juga tidak terpengaruh sepenuhnya. Mereka menangis, menjerit, dan berlari menjauh dari pusat kota.

Tapi Voidling menyebar.

Dan Oru… membuka matanya. Bukan, bukan mata sungguhan. Tapi pusaran kosmik di wajahnya mulai menyala. Ia mengangkat tangannya perlahan.

Langit menghitam. Dan dari langit, sebuah bola hitam jatuh.

Gedung-gedung hancur. Tanah terbelah. Jalan-jalan berubah menjadi kawah besar. Tapi anehnya—kepompong-kepompong itu tetap utuh.

Dari dalam kepompong, lahir Voidling baru.

Dan akhirnya… tak ada yang selamat.

Tidak ada catatan. Tidak ada laporan. Tidak ada siaran berita. Hanya dua pilihan: Menjadi Voidling, atau mati.

Dan Raka… tidak sempat memilih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar