Suara Oru menghilang. Atau mungkin disenyapkan oleh jarak yang kian menjauh. Atau mungkin Oru membiarkan manusia berpikir bahwa mereka telah aman.
Ayah duduk bersandar di tumpukan kayu di dalam mobil lapis baja yang dikendarai kelompok penyelamatnya. Luka-lukanya sudah dibalut. Seorang perempuan muda, dengan wajah teduh dan suara lembut, mengoleskan salep pada bekas lecet di bahunya. Cara ia berbicara, caranya menatap... membuat ayah teringat pada seseorang yang telah lama hilang. Istrinya. Senyum kecil yang sama. Sentuhan yang menenangkan. Mata yang memandang dengan rasa takut namun tetap penuh cinta.
Kelompok itu terdiri dari tujuh orang. Dua di antaranya mantan tentara. Dua lainnya dokter lapangan. Tiga sisanya—sipil yang tersisa. Masing-masing dengan bekas luka dan kehilangan. Tapi juga dengan kekuatan yang tak bisa dijelaskan. Mereka menempuh perjalanan panjang: menyusuri reruntuhan kota, melintasi hutan kosong, dan menyeberangi laut yang nyaris beku. Mereka berbagi makanan, bercerita dalam gumam singkat, dan saling berjaga saat malam datang.
Setelah 45 jam perjalanan, mereka tiba di ujung benua: Alaska. Salju menyelimuti segalanya. Tidak ada kehidupan, tidak ada suara. Namun di balik lereng es yang menjulang, tampak sesuatu seperti dinding besi mencuat dari permukaan tanah.
Sebuah bunker.
Pintu baja terbuka. Di dalamnya terang. Hangat. Hidup. Puluhan manusia berjalan dengan langkah cepat. Ada dapur. Ada ruang medis. Ada anak-anak. Ada suara tawa kecil—meskipun terbungkam rasa takut. Ada harapan.
Ayah terdiam saat memasuki ruangan itu. Dunia seperti kembali sebelum semua musnah. Untuk pertama kalinya dalam ratusan hari, ia tidak merasa sendiri.
Seseorang menyambut mereka. Seorang lelaki tua dengan jas lab dan kacamata retak. Ia memperkenalkan dirinya sebagai salah satu ilmuwan yang sedang bekerja keras mengembangkan sesuatu: serum.
"Kami hampir menemukannya," katanya, "cara untuk membalikkan mereka—Voidling—kembali menjadi manusia."
Ayah menatap mata lelaki itu.
Ia tidak berani berharap.
Namun untuk pertama kalinya...
Ia ingin percaya.
Hari-hari di dalam bunker berjalan tenang, berbeda dengan dunia luar yang telah menjadi taman kematian. Bunker itu dulunya adalah fasilitas nuklir tua di Alaska, dibangun jauh sebelum kemunculan Oru. Para ilmuwan, tentara, dan warga sipil berhasil mengamankannya, menyulapnya menjadi tempat perlindungan. Mereka menemukan sisa-sisa persediaan militer, laboratorium dingin bawah tanah, serta cadangan makanan beku dan turbin tenaga panas bumi.
Tujuh hari setelah kedatangan ayah, para ilmuwan akhirnya berhasil menyempurnakan serum. Dengan tubuh gemetar, mereka menyuntikkan serum pada satu Voidling yang telah mereka tangkap diam-diam di dekat gunung es. Awalnya tidak ada yang terjadi. Namun perlahan, tubuh Voidling itu mulai berubah. Dari akar-akarnya yang menggeliat, dari kulit putih polosnya, mulai muncul warna. Otot. Daging. Kulit manusia.
Lelaki tua. Seorang pria sipil yang dahulu telah hilang. Ia kembali.
Ruangan penuh sorak.
Air mata membanjiri pipi banyak orang.
Harapan tak lagi semu.
Di ruang rapat, salah satu pasukan—seorang pria dengan janggut tipis dan suara keras—berbicara sambil menunjuk peta dunia digital yang masih bisa diakses dari satelit cuaca lama.
“Kita tidak akan berdiam diri di sini. Serum ini akan kita bawa ke setiap benua, setiap kota, setiap reruntuhan. Kita akan menyuntikkan harapan ke tubuh dunia yang nyaris mati. Kita akan menang. Kita akan ambil kembali planet ini.”
Semua orang bersorak. Tapi ayah diam. Ayah ditawari bergabung. Ia tidak menolak.
Ia dan perempuan itu masuk dalam tim ekspedisi. Kapal-kapal ekspedisi disiapkan. Lima armada menuju lima arah berbeda. Ayah dan perempuan itu tergabung dalam satu kapal.
Hari keberangkatanpun tiba. Seluruh pasukan telah bersiap untuk berlayar.
Namun tak lama setelah kapal-kapal berlayar, satu per satu meledak.
Api menyambar es.
Lalu... bunker itu sendiri meledak. Kapal tempat ayah berada ikut terguncang. Api menjalar dari ruang mesin dan menyapu sebagian dek. Orang-orang berlarian, terbakar hidup-hidup. Ayah berdiri tenang di tengahnya, api menjauh seperti terhalang sesuatu. Dua sayap hitam membungkus tubuhnya. Sayap yang bukan milik manusia.
Perempuan itu terhempas ke dinding baja, tubuhnya penuh luka, sekarat. Ia melihat kehancuran itu. Ia melihat mayat-mayat terbakar. Ia melihat pria itu—ayah—berdiri sendirian di antara kehancuran, tak terluka.
“Kenapa?” tanyanya, napasnya berat. “Kenapa kau...?”
Ayah berdiri. Tubuhnya tegak. Di tangannya, tiga botol serum tersisa. Matanya kosong, tapi dalam. Kosmik. Dingin.
“Aku pernah mempercayai manusia,” katanya. “Tapi manusia... mereka tidak butuh penyelamatan. Mereka hanya ingin menang. Hanya ingin berkuasa. Bahkan serum ini... mereka ingin menggunakannya untuk menciptakan senjata baru.”
Perempuan itu menggeleng. Air matanya membaur dengan darah.
“Mereka ingin menyelamatkan...”
“Aku telah melihat dunia lain. Aku telah mendengar suara yang tidak berdusta.” kata ayah
Ia melangkah mundur. Tubuhnya mulai melayang.
“Dunia yang damai bukan dunia di mana manusia menang. Tapi di mana manusia berhenti menjadi manusia. Dunia yang penuh bunga. Lagu. Dan keheningan.”
Ia terbang menuju pegunungan es. Di sana, dua Voidling berdiri. Ia tahu mereka. Anak-anaknya.
Ia menyuntikkan serum ke masing-masing tubuh kecil itu. Dan dalam pelukannya, mereka kembali. Dua anak perempuan yang kini berdiri di sisinya. Satu menangis. Satunya menatap kosong.
Ia menggenggam tangan mereka. Terbang ke arah cahaya.
Di atas puncak dunia, Oru duduk bersila, melayang, menanti. Ayah menunduk. Memberikan serum terakhir ke tangan Oru.
Dan Oru pun berbicara. Suara yang menggema seperti puisi akhir dunia:
“Kini sunyi telah penuh. Duri telah berganti bunga. Jerit telah diganti kidung. Dan kematian adalah pintu yang benar.”
“Wahai tanah yang menjerit dalam perang, Lihatlah kedamaian yang kami bawa. Tak ada luka. Tak ada dosa. Hanya taman yang tak lagi menangis.”
“Aku—bukan dewa. Aku hanyalah penutup luka lama.”
“Maka biarlah kami pergi. Biarlah bumi diam. Dan biarlah sejarah ini dilupakan.”
Oru dan ketiga herald-nya terbang meninggalkan bumi.
Langit kembali kosong.
EPILOG – SISAKU ADALAH AWALMU
Di bawah reruntuhan bunker, di antara asap dan es, seseorang bangkit perlahan. Tubuhnya masih penuh luka. Namun ia hidup. Ia adalah manusia pertama yang disuntik.
Ia mengenakan jaket tebal. Menatap ke langit beku. Dan melangkah.
Sendiri.
Tapi mungkin,
itu cukup.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar