Mereka mengendap-endap, berjalan dalam bayangan, menyusuri reruntuhan dan celah jalanan yang ditumbuhi lumut bercahaya. Voidling itu tidak jauh. Seolah merasakan kehadiran manusia. Lagu yang dinyanyikannya tidak lagi lembut—tapi kuat. Irama tenang, namun nada semakin dalam. Menggema seperti nyanyian rindu yang memanggil pulang.
Mereka hampir berhasil menjauh. Tapi tiba-tiba—
Anak bungsu mereka berhenti. Matanya menatap kosong ke arah suara. "Itu... suara Ibu," bisiknya.
Ayah menoleh, cemas. Sang anak mulai melangkah.
"Jangan," seru ayah pelan, tergesa namun tetap menahan suara. Namun anak itu terus melangkah, langkah kecil yang perlahan makin cepat.
Ayah mengejar.
Tapi sudah terlambat. Voidling menyambutnya dengan tangan terbuka. Dan benang-benang kosmik mulai menyelimuti tubuh mungil itu.
Ayah menggertakkan gigi. Dalam sekejap ia menarik senjatanya dan menembak Voidling itu. Voidling runtuh. Proses kepompong berhenti.
Anak itu jatuh ke tanah. Ia mulai menggeliat. Lalu menjerit.
Bukan jeritan biasa. Teriakan itu seperti menghancurkan seluruh dinding akal. Ia mulai mencakar wajahnya sendiri, memukul-mukul tubuhnya, menangis keras, lalu tertawa, lalu kembali menangis.
Anak sulungnya dan sang ayah berusaha menahan tubuhnya. Mereka menutup mata dan mulutnya, mengikat tangan dan kakinya.
Namun belum selesai rasa takut itu reda, ayah mendongak. Langit perlahan menghitam.
Di tempat jauh—Oru mengangkat tangan.
Dan satu bola hitam mulai terbentuk di angkasa.
Enam jam sebelum hantaman bola hitam.
Mereka berlari di bawah kabut pagi yang tebal. Langkah tergesa, napas tak beraturan. Sang anak kecil terus meronta dalam dekapan sang kakak, diikat dan dibungkam agar tak menyakiti dirinya sendiri. Ayah berjalan paling depan, mengamati setiap sudut, mencari perlindungan. Anjing mereka, Kumo, mengikuti dari belakang, sesekali menggonggong ke arah yang gelap.
Voidling terus mengikuti dari kejauhan, nyanyiannya kian jelas.
Tiga jam sebelum hantaman.
Mereka menemukan sebuah rumah tua yang masih utuh. Di dalamnya, ada keluarga yang masih bertahan hidup. Suami-istri dan seorang pemuda. Mereka menyambut dengan waspada, namun akhirnya menerima kehadiran ayah dan dua anaknya.
Perbincangan terjadi. Tentang Alaska. Tentang harapan. Ayah memohon agar mereka menjaga anak bungsunya. Tapi lagu Voidling mulai menyelimuti rumah. Mereka telah dikepung. Nyanyian dari segala arah.
Satu Voidling bisa mengganggu pikiran. Tapi lima? Sepuluh? Bahkan mereka yang memiliki tekad terkuat pun bisa goyah. Keluarga itu memutuskan bertarung. Mereka menembak setiap Voidling yang masuk pekarangan. Bunga dan akar hancur. Tapi jumlah Voidling makin banyak.
Satu jam sebelum hantaman.
Pemuda dari keluarga itu memiliki gagasan gila. Ia pernah dengar bahwa Alaska menyimpan serum yang bisa menyembuhkan Voidling. Jika itu benar, maka membiarkan diri dibungkus adalah satu-satunya jalan agar tubuh tetap utuh.
“Jika kami jadi Voidling, kau bisa kembali dengan obat itu dan selamatkan kami.”
Ayah ragu. Tangannya gemetar. Namun anak sulungnya menggenggam erat tangannya.
"Kami akan menunggu. Pergilah, Ayah."
Lima menit sebelum hantaman.
Motor disiapkan. Hanya bisa memuat satu orang. Ayah, dengan air mata dan dada sesak, naik. Kumo menggonggong, tapi ditahan oleh anak sulungnya.
Ia pergi. Dan rumah itu… dikelilingi Voidling. Lagu semakin merdu. Bunga bermekaran. Proses pembungkusan dimulai. Tidak ada jeritan. Hanya keheningan.
Detik-detik terakhir.
Oru melemparkan bola hitam. Ledakan terjadi.
Ayah terdorong dari Motornya. Namun tidak terbunuh. Hanya luka ringan. Ia melihat ke belakang, tak ada apa-apa lagi. Semua hilang.
Tapi mereka telah memilih menjadi Voidling. Yang berarti mereka... selamat.
Dan ayah... mulai patah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar