Hari ke-200 sejak Oru pertama kali turun ke bumi.
Perlawanan manusia telah tumbuh. Senjata dikumpulkan, barikade dibangun, strategi disusun. Manusia mulai mempelajari cara membunuh Voidling. Peluru tajam, api, bahkan semburan asam—semuanya bisa membunuh makhluk itu. Dan mereka mulai menang… sedikit.
Tapi untuk setiap Voidling yang mati, sepuluh muncul menggantikan. Mereka seperti kabut: tak bisa dihentikan, tak bisa dihindari.
Namun bukan itu yang paling mengerikan.
Yang paling mengerikan adalah—prosesnya.
Voidling tak hanya membunuh. Mereka membungkus. Menyanyikan lagu, menenangkan jiwa, meninabobokan harapan. Dan mereka yang tersentuh lagu itu akan datang dengan sukarela, menyerahkan tubuhnya, membiarkan diri dibalut benang kosmik menjadi kepompong.
Namun terkadang, proses itu terganggu. Seseorang menembak Voidling saat proses pembungkusan tengah berlangsung. Atau ada ledakan yang membuat benang kosmik putus. Saat itulah… mereka yang hampir menjadi Voidling namun gagal, berubah.
Seorang tentara—salah satu yang pertama—mengalami hal itu. Ia hampir terbungkus, lalu rekannya membunuh Voidling tersebut untuk menyelamatkannya. Yang terjadi selanjutnya adalah teror: Tentara itu berteriak. Tapi bukan teriakan manusia. Itu seperti suara dari kedalaman lautan yang berkarat. Ia menangis, tertawa, memukul wajahnya sendiri, mencakar kulit, menancapkan pisau ke tubuhnya. Matanya kosong. Tapi tubuhnya penuh rasa yang tidak bisa dijelaskan. Ia akhirnya mati. Tapi tidak seperti manusia.
Fenomena itu membuat semua pasukan gentar. Mereka mulai bingung, apakah menyelamatkan berarti membunuh? Apakah membiarkan berarti mengampuni?
Dan Oru… tetap diam di tempatnya. Namun jika ia merasa terlalu banyak Voidling mati di satu tempat, maka dari jauh—satu bola hitam akan datang. Dan tidak akan ada yang tersisa.
Manusia mulai meragukan perang ini.
Beberapa menyerah.
Beberapa menyerahkan diri.
Dan beberapa… masih bertahan.
Hari ke-500 sejak Oru turun ke bumi.
Tak ada lagi yang mempertanyakan siapa dia. Tak ada lagi yang mencoba berdialog. Semua sudah tahu: jika suara lagu mulai terdengar, meski samar, maka itu berarti satu hal—Voidling sedang mendekat.
Manusia tidak saling mencurigai. Tidak perlu. Karena tidak ada manusia yang dikendalikan oleh Oru atau Voidling. Tidak ada pengkhianat. Tidak ada mata-mata. Musuh mereka nyata, dan murni: Voidling, dan sang Oru.
Oru sendiri masih duduk di tempat pertama ia muncul. Tidak bergerak. Namun dari sana, ia dapat melihat seluruh dunia. Setiap Voidling yang mati, ia ketahui. Setiap perlawanan, ia sadari. Dan untuk setiap pemberontakan, satu bola hitam dikirimkan. Jauh. Akurat. Mematikan.
Dunia sudah tidak lagi seperti dulu. Kota-kota berubah menjadi hutan liar. Bangunan runtuh diselimuti bunga-bunga liar yang tumbuh dari langkah Voidling. Jalan-jalan dilapisi karpet rumput. Tanah yang dulu mati kini hidup kembali—namun bukan untuk manusia.
Manusia bersembunyi di terowongan, bunker, reruntuhan. Mereka membentuk koloni-koloni kecil. Komunitas bertahan hidup. Sekelompok kecil manusia yang mencoba hidup dengan satu prinsip: hindari lagu itu.
Namun Voidling bukan sekadar pemburu. Mereka penyanyi. Dan lagu mereka—semakin banyak Voidling berkumpul, semakin merdu, semakin kuat, semakin tak tertahankan.
Mereka tidak berteriak. Mereka tidak menyerang duluan. Mereka hanya berjalan perlahan, menyanyikan lagu yang terdengar seperti bisikan kasih dari langit.
Dan jika kau tidak segera menjauh, maka… kepompong akan menanti.
Hari ke-777.
Tiga pasang kaki kecil, satu pasang kaki besar, dan empat tapak kaki berbulu berjalan perlahan di antara salju. Mereka berjalan tanpa suara. Tak ada keluhan. Tak ada tangisan. Yang terdengar hanya desir angin dan salju yang mengeras di bawah sepatu mereka.
Seorang pria—ayah—berjalan paling depan. Di belakangnya, dua anak perempuan: satu berusia delapan tahun, satu lagi lima belas. Di sisi mereka, seekor anjing besar berwarna coklat tua, dengan mata setia yang terus menatap ke depan.
Mereka bukan pelarian pertama. Tapi mereka adalah sedikit dari yang tersisa.
Tujuan mereka: Alaska. Tempat yang konon masih menyimpan manusia. Tempat yang konon memiliki harapan. Tak ada yang tahu apakah itu nyata. Namun jika tidak ada harapan, apa lagi yang bisa mereka miliki? Langit di atas mereka pucat. Putih. Dingin. Tanpa suara. Tanpa lagu. Dan itu… membuat mereka tenang.
Tapi tidak untuk lama.
Langkah-langkah bunga dan akar mulai muncul di kejauhan. Dan di antara salju yang putih, satu makhluk muncul perlahan. Voidling.
Ia berjalan tanpa tergesa. Bernyanyi tanpa suara. Dan bunga-bunga mulai tumbuh dari salju, membentuk jalur seperti karpet indah. Ayah berdiri di depan anak-anaknya. Anjing mereka menggeram pelan. Anak-anak menggenggam tangan ayah mereka lebih erat.
Perjalanan belum usai. Tapi kematian… selalu menunggu di balik keindahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar