Halaman

Jumat, 04 Juli 2025

Seraphim. Final Chapter

Suara Oru menghilang. Atau mungkin disenyapkan oleh jarak yang kian menjauh. Atau mungkin Oru membiarkan manusia berpikir bahwa mereka telah aman.

Ayah duduk bersandar di tumpukan kayu di dalam mobil lapis baja yang dikendarai kelompok penyelamatnya. Luka-lukanya sudah dibalut. Seorang perempuan muda, dengan wajah teduh dan suara lembut, mengoleskan salep pada bekas lecet di bahunya. Cara ia berbicara, caranya menatap... membuat ayah teringat pada seseorang yang telah lama hilang. Istrinya. Senyum kecil yang sama. Sentuhan yang menenangkan. Mata yang memandang dengan rasa takut namun tetap penuh cinta.

Kelompok itu terdiri dari tujuh orang. Dua di antaranya mantan tentara. Dua lainnya dokter lapangan. Tiga sisanya—sipil yang tersisa. Masing-masing dengan bekas luka dan kehilangan. Tapi juga dengan kekuatan yang tak bisa dijelaskan. Mereka menempuh perjalanan panjang: menyusuri reruntuhan kota, melintasi hutan kosong, dan menyeberangi laut yang nyaris beku. Mereka berbagi makanan, bercerita dalam gumam singkat, dan saling berjaga saat malam datang.

Setelah 45 jam perjalanan, mereka tiba di ujung benua: Alaska. Salju menyelimuti segalanya. Tidak ada kehidupan, tidak ada suara. Namun di balik lereng es yang menjulang, tampak sesuatu seperti dinding besi mencuat dari permukaan tanah.

Sebuah bunker.

Pintu baja terbuka. Di dalamnya terang. Hangat. Hidup. Puluhan manusia berjalan dengan langkah cepat. Ada dapur. Ada ruang medis. Ada anak-anak. Ada suara tawa kecil—meskipun terbungkam rasa takut. Ada harapan.

Ayah terdiam saat memasuki ruangan itu. Dunia seperti kembali sebelum semua musnah. Untuk pertama kalinya dalam ratusan hari, ia tidak merasa sendiri.

Seseorang menyambut mereka. Seorang lelaki tua dengan jas lab dan kacamata retak. Ia memperkenalkan dirinya sebagai salah satu ilmuwan yang sedang bekerja keras mengembangkan sesuatu: serum.

"Kami hampir menemukannya," katanya, "cara untuk membalikkan mereka—Voidling—kembali menjadi manusia."

Ayah menatap mata lelaki itu. Ia tidak berani berharap. Namun untuk pertama kalinya... Ia ingin percaya.

Hari-hari di dalam bunker berjalan tenang, berbeda dengan dunia luar yang telah menjadi taman kematian. Bunker itu dulunya adalah fasilitas nuklir tua di Alaska, dibangun jauh sebelum kemunculan Oru. Para ilmuwan, tentara, dan warga sipil berhasil mengamankannya, menyulapnya menjadi tempat perlindungan. Mereka menemukan sisa-sisa persediaan militer, laboratorium dingin bawah tanah, serta cadangan makanan beku dan turbin tenaga panas bumi.

Ayah tidak banyak bicara di hari-hari awal. Ia lebih sering mengamati. Ia kadang duduk di ruang tengah, melihat orang-orang bercengkerama, tertawa, dan bahkan bermain gitar. Beberapa anak berlarian. Di satu sudut, ia sering bertemu dengan perempuan yang dulu mengobatinya. Mereka saling menyapa. Kadang makan di meja yang sama. Tapi tidak lebih. Ada sesuatu yang tidak pernah bisa mereka bicarakan. Terlalu banyak luka untuk dijahit dengan percakapan ringan.

Tujuh hari setelah kedatangan ayah, para ilmuwan akhirnya berhasil menyempurnakan serum. Dengan tubuh gemetar, mereka menyuntikkan serum pada satu Voidling yang telah mereka tangkap diam-diam di dekat gunung es. Awalnya tidak ada yang terjadi. Namun perlahan, tubuh Voidling itu mulai berubah. Dari akar-akarnya yang menggeliat, dari kulit putih polosnya, mulai muncul warna. Otot. Daging. Kulit manusia.

Lelaki tua. Seorang pria sipil yang dahulu telah hilang. Ia kembali.

Ruangan penuh sorak. Air mata membanjiri pipi banyak orang. Harapan tak lagi semu.

Di ruang rapat, salah satu pasukan—seorang pria dengan janggut tipis dan suara keras—berbicara sambil menunjuk peta dunia digital yang masih bisa diakses dari satelit cuaca lama.

“Kita tidak akan berdiam diri di sini. Serum ini akan kita bawa ke setiap benua, setiap kota, setiap reruntuhan. Kita akan menyuntikkan harapan ke tubuh dunia yang nyaris mati. Kita akan menang. Kita akan ambil kembali planet ini.”

Semua orang bersorak. Tapi ayah diam. Ayah ditawari bergabung. Ia tidak menolak. Ia dan perempuan itu masuk dalam tim ekspedisi. Kapal-kapal ekspedisi disiapkan. Lima armada menuju lima arah berbeda. Ayah dan perempuan itu tergabung dalam satu kapal.

Hari keberangkatanpun tiba. Seluruh pasukan telah bersiap untuk berlayar.

Namun tak lama setelah kapal-kapal berlayar, satu per satu meledak. Api menyambar es. Lalu... bunker itu sendiri meledak. Kapal tempat ayah berada ikut terguncang. Api menjalar dari ruang mesin dan menyapu sebagian dek. Orang-orang berlarian, terbakar hidup-hidup. Ayah berdiri tenang di tengahnya, api menjauh seperti terhalang sesuatu. Dua sayap hitam membungkus tubuhnya. Sayap yang bukan milik manusia.

Perempuan itu terhempas ke dinding baja, tubuhnya penuh luka, sekarat. Ia melihat kehancuran itu. Ia melihat mayat-mayat terbakar. Ia melihat pria itu—ayah—berdiri sendirian di antara kehancuran, tak terluka.

“Kenapa?” tanyanya, napasnya berat. “Kenapa kau...?”

Ayah berdiri. Tubuhnya tegak. Di tangannya, tiga botol serum tersisa. Matanya kosong, tapi dalam. Kosmik. Dingin.

“Aku pernah mempercayai manusia,” katanya. “Tapi manusia... mereka tidak butuh penyelamatan. Mereka hanya ingin menang. Hanya ingin berkuasa. Bahkan serum ini... mereka ingin menggunakannya untuk menciptakan senjata baru.”

Perempuan itu menggeleng. Air matanya membaur dengan darah.

“Mereka ingin menyelamatkan...”

“Aku telah melihat dunia lain. Aku telah mendengar suara yang tidak berdusta.” kata ayah

Ia melangkah mundur. Tubuhnya mulai melayang.

“Dunia yang damai bukan dunia di mana manusia menang. Tapi di mana manusia berhenti menjadi manusia. Dunia yang penuh bunga. Lagu. Dan keheningan.”

Ia terbang menuju pegunungan es. Di sana, dua Voidling berdiri. Ia tahu mereka. Anak-anaknya.

Ia menyuntikkan serum ke masing-masing tubuh kecil itu. Dan dalam pelukannya, mereka kembali. Dua anak perempuan yang kini berdiri di sisinya. Satu menangis. Satunya menatap kosong.

Ia menggenggam tangan mereka. Terbang ke arah cahaya.

Di atas puncak dunia, Oru duduk bersila, melayang, menanti. Ayah menunduk. Memberikan serum terakhir ke tangan Oru.

Dan Oru pun berbicara. Suara yang menggema seperti puisi akhir dunia:

“Kini sunyi telah penuh. Duri telah berganti bunga. Jerit telah diganti kidung. Dan kematian adalah pintu yang benar.”

“Wahai tanah yang menjerit dalam perang, Lihatlah kedamaian yang kami bawa. Tak ada luka. Tak ada dosa. Hanya taman yang tak lagi menangis.”

“Aku—bukan dewa. Aku hanyalah penutup luka lama.”

“Maka biarlah kami pergi. Biarlah bumi diam. Dan biarlah sejarah ini dilupakan.”

Oru dan ketiga herald-nya terbang meninggalkan bumi. Langit kembali kosong.

EPILOG – SISAKU ADALAH AWALMU

Di bawah reruntuhan bunker, di antara asap dan es, seseorang bangkit perlahan. Tubuhnya masih penuh luka. Namun ia hidup. Ia adalah manusia pertama yang disuntik.

Ia mengenakan jaket tebal. Menatap ke langit beku. Dan melangkah.

Sendiri.

Tapi mungkin, itu cukup.

TAMAT

Seraphim. Part IV

Langkahnya terayun tanpa jiwa. Tubuhnya bergerak, tapi wajahnya kosong. Mata menatap tanah beku yang tidak lagi bermakna. Ia tidak tahu ke mana harus pergi. Ia tidak tahu mengapa masih hidupAyah berjalan. Tubuhnya utuh, tapi jiwanya patah.

Yang ia tahu hanya satu: AlaskaLangkah-langkahnya tidak memiliki tujuan. Hanya membelah salju yang terlalu diam, terlalu sunyi. Dunia di sekitarnya seperti kehilangan suara. Tidak ada burung. Tidak ada suara hembusan angin. Bahkan suara napasnya sendiri terasa asing. Ia hanya tahu satu arah: maju.

Langkahnya terseok di salju yang tebal, tubuhnya terguncang oleh hawa dingin yang menggigit. Darah dari lututnya telah membeku. Jari-jari kaku. Tapi ia terus berjalanIa tidak tahu sudah berapa jam berjalan. Atau hari. Waktu sudah menjadi abstrak.

Tanpa makan. Tanpa minum. Tanpa bicara.

Kakinya mulai berdarah. Sepatunya sudah tak berbentuk. Telapak kaki retak, berdarah, membeku. Ia sesekali terjatuh, menubruk batu atau batang kayu yang tertutup salju. Tapi ia bangkit. Tidak dengan semangat. Hanya karena tubuhnya tidak tahu cara menyerah.

Di kejauhan, langit tidak lagi biru. Tidak juga abu. Hanya putih pekat yang menyatu dengan tanah. Seolah dunia dilukis oleh tangan yang sama dengan satu warna saja: kehampaan.

Kumo tidak ada. Anak-anaknya tidak ada.Rumah itu sudah tidak ada.

Dunia pun seperti berhenti berputar. Lagu-lagu Voidling masih jauh di belakang. Tapi sunyi di depan pun tak membawa harapanIa menatap tangan kanannya. Telapak itu masih mengingat bagaimana rasanya menyentuh kepala anak sulungnya terakhir kali. Tangannya masih terasa menggenggam gas motor saat ia meninggalkan mereka. Dan sekarang tangan itu... hanya menggenggam dingin.

Akhirnya, tubuh itu jatuh. Wajahnya mencium tanah beku. Ia menangis tanpa suara, air mata membeku di pipi. Dan perlahan, kesadarannya menghilang, ditelan putihnya kehampaan.

Sesekali ia berhenti, berdiri di tempat, menatap cakrawala yang tidak menawarkan apa pun. Mungkin ia berharap melihat Oru di langit, atau Voidling di jalan, atau siapa pun... tapi tidak ada siapa-siapa.Ia berteriak. Namun suaranya tidak keluar. Air mata mengalir tanpa izin. Membeku di pipi. Matanya merah, tapi bukan karena menangis. Karena kehilangan arah.

Akhirnya ia roboh. Tubuhnya jatuh menyamping, wajahnya mencium es keras. Tidak ada tangan yang menangkap. Tidak ada suara yang menyahut. Ia hanya berbaring di sana seperti potongan tubuh tak bernyawa.

Di dalam kepalanya hanya gema satu kalimat: “Untuk apa aku hidup?”

Kesadarannya perlahan memudar. Dan dunia kembali sunyi.

Terbangun di tempat asing sudah terlalu sering terjadi di dunia ini.

Namun kali ini, ayah terbangun bukan dalam dunia nyata. Ia tahu itu.

Tanah di sekitarnya mengambang. Udara seperti air. Langit seperti laut. Namun segalanya tenang. Seolah-olah ia sedang berada di dalam mimpi yang dibentuk oleh ingatan, kesedihan, dan ketakutan.

Di kejauhan, sesosok tinggi muncul perlahan dari kabut kosmik. Langkahnya nyaris tidak terdengar. Wujudnya menyerupai manusia yang duduk bersila, tinggi menjulang, kurus, dan melayang. Tak memiliki wajah. Namun di tempat wajahnya, ada pemandangan langit malam, galaksi-galaksi berputar perlahan di dalamnya. Di punggungnya, ada simbol—entah lambang atau makna dari keberadaan itu.

Ayah berdiri. Matanya menatap tanpa berkedip. Tenggorokannya tercekat.

Oru.

Untuk pertama kalinya, manusia dan Oru berhadapan.

Entitas itu tak bergerak. Tapi tiba-tiba, suara muncul. Bukan seperti suara biasa, melainkan lantunan kata yang turun seperti bait-bait puisi. Dalam, berat, dan indah... namun mengerikan dalam keheningan.

“Anak angin yang kehilangan sayap...
Mengapa melawan peluk damai? Bukankah luka akan lenyap,
Jika kau diam dalam dekapan?”

Ayah tidak mengerti sepenuhnya. Tapi hatinya terasa tertusuk. Setiap kata mengalun seperti bisikan dari surga yang palsu.

Ia membalas dengan suara parau. “Kau pembunuh.”

Oru diam.

“Semua orang... keluargaku... mereka semua kau ambil. Lalu kau nyanyikan lagu kematian. Itu bukan damai. Itu genosida. Itu kehancuran!”

Oru perlahan mengangkat tangan kanannya. Tidak mengancam, hanya menunjuk ke dada ayah. Suaranya kembali muncul.

“Yang kau sebut keluarga—telah tersenyum dalam tidur. Mereka tak lagi menangis. Mereka telah menjadi bagian dari bunga yang tak layu. Bukankah cinta adalah melepas—bukan menggenggam?”

Ayah menggertakkan giginya. Tapi ada celah di hatinya. Sebuah suara kecil yang mempertanyakan: “Apakah benar semua ini untuk kedamaian?”

Oru melanjutkan:

“Aku bukan penguasa, bukan pula penjajah. Aku hanyalah benih yang tumbuh di bumi rusak. Dan dari tanah yang busuk, aku menumbuhkan taman. Namun untuk taman hidup, gulma harus dibersihkan.”

Ayah mulai goyah. Genggamannya melemah. Tatapannya kabur.

Oru mendekat.

“Menjadi tanganku, menjadi mataku. Menjadi sang penyampai lagu. Kau bisa membawa damai, bukan duka. Bersatulah dalam diriku.”

Ayah merasa tubuhnya melayang. Dunia menjadi ringan. Wajah anak-anaknya... seperti tersenyum di antara kabut. Ia hampir mengangguk.

Namun tiba-tiba—

Teriakan. Guyuran air dingin.

Ayah terkejut, tubuhnya mengangkat dari tanah. Matanya terbuka. Napasnya memburu.

Ia tidak lagi di dunia itu. Ia kembali.

Beberapa orang berdiri di sekelilingnya. Satu dari mereka memegang ember kosong. Yang lain membawa senjata.

“Kau hidup,” kata salah satunya. “Kami menemukannmu di salju. Hampir beku. Ayo, kita harus pergi. Ke Alaska. Sekarang.”

Ayah hanya bisa terdiam. Tubuhnya menggigil. Namun satu hal pasti: Oru telah menyentuh pikirannya. Dan bekasnya belum tentu bisa dihapus.

Kamis, 03 Juli 2025

Seraphim. Part III

 Mereka mengendap-endap, berjalan dalam bayangan, menyusuri reruntuhan dan celah jalanan yang ditumbuhi lumut bercahaya. Voidling itu tidak jauh. Seolah merasakan kehadiran manusia. Lagu yang dinyanyikannya tidak lagi lembut—tapi kuat. Irama tenang, namun nada semakin dalam. Menggema seperti nyanyian rindu yang memanggil pulang.

Mereka hampir berhasil menjauh. Tapi tiba-tiba—

Anak bungsu mereka berhenti. Matanya menatap kosong ke arah suara. "Itu... suara Ibu," bisiknya.

Ayah menoleh, cemas. Sang anak mulai melangkah.

"Jangan," seru ayah pelan, tergesa namun tetap menahan suara. Namun anak itu terus melangkah, langkah kecil yang perlahan makin cepat.

Ayah mengejar.

Tapi sudah terlambat. Voidling menyambutnya dengan tangan terbuka. Dan benang-benang kosmik mulai menyelimuti tubuh mungil itu.

Ayah menggertakkan gigi. Dalam sekejap ia menarik senjatanya dan menembak Voidling itu. Voidling runtuh. Proses kepompong berhenti.

Anak itu jatuh ke tanah. Ia mulai menggeliat. Lalu menjerit.

Bukan jeritan biasa. Teriakan itu seperti menghancurkan seluruh dinding akal. Ia mulai mencakar wajahnya sendiri, memukul-mukul tubuhnya, menangis keras, lalu tertawa, lalu kembali menangis.

Anak sulungnya dan sang ayah berusaha menahan tubuhnya. Mereka menutup mata dan mulutnya, mengikat tangan dan kakinya.

Namun belum selesai rasa takut itu reda, ayah mendongak. Langit perlahan menghitam.

Di tempat jauh—Oru mengangkat tangan. Dan satu bola hitam mulai terbentuk di angkasa.

Enam jam sebelum hantaman bola hitam.

Mereka berlari di bawah kabut pagi yang tebal. Langkah tergesa, napas tak beraturan. Sang anak kecil terus meronta dalam dekapan sang kakak, diikat dan dibungkam agar tak menyakiti dirinya sendiri. Ayah berjalan paling depan, mengamati setiap sudut, mencari perlindungan. Anjing mereka, Kumo, mengikuti dari belakang, sesekali menggonggong ke arah yang gelap.

Voidling terus mengikuti dari kejauhan, nyanyiannya kian jelas.

Tiga jam sebelum hantaman.

Mereka menemukan sebuah rumah tua yang masih utuh. Di dalamnya, ada keluarga yang masih bertahan hidup. Suami-istri dan seorang pemuda. Mereka menyambut dengan waspada, namun akhirnya menerima kehadiran ayah dan dua anaknya.

Perbincangan terjadi. Tentang Alaska. Tentang harapan. Ayah memohon agar mereka menjaga anak bungsunya. Tapi lagu Voidling mulai menyelimuti rumah. Mereka telah dikepung. Nyanyian dari segala arah.

Satu Voidling bisa mengganggu pikiran. Tapi lima? Sepuluh? Bahkan mereka yang memiliki tekad terkuat pun bisa goyah. Keluarga itu memutuskan bertarung. Mereka menembak setiap Voidling yang masuk pekarangan. Bunga dan akar hancur. Tapi jumlah Voidling makin banyak.

Satu jam sebelum hantaman.

Pemuda dari keluarga itu memiliki gagasan gila. Ia pernah dengar bahwa Alaska menyimpan serum yang bisa menyembuhkan Voidling. Jika itu benar, maka membiarkan diri dibungkus adalah satu-satunya jalan agar tubuh tetap utuh.

“Jika kami jadi Voidling, kau bisa kembali dengan obat itu dan selamatkan kami.”

Ayah ragu. Tangannya gemetar. Namun anak sulungnya menggenggam erat tangannya.

"Kami akan menunggu. Pergilah, Ayah."

Lima menit sebelum hantaman.

Motor disiapkan. Hanya bisa memuat satu orang. Ayah, dengan air mata dan dada sesak, naik. Kumo menggonggong, tapi ditahan oleh anak sulungnya.

Ia pergi. Dan rumah itu… dikelilingi Voidling. Lagu semakin merdu. Bunga bermekaran. Proses pembungkusan dimulai. Tidak ada jeritan. Hanya keheningan.

Detik-detik terakhir.

Oru melemparkan bola hitam. Ledakan terjadi.

Ayah terdorong dari Motornya. Namun tidak terbunuh. Hanya luka ringan. Ia melihat ke belakang, tak ada apa-apa lagi. Semua hilang.

Tapi mereka telah memilih menjadi Voidling. Yang berarti mereka... selamat.

Dan ayah... mulai patah.

Seraphim. Part II

 Hari ke-200 sejak Oru pertama kali turun ke bumi.

Perlawanan manusia telah tumbuh. Senjata dikumpulkan, barikade dibangun, strategi disusun. Manusia mulai mempelajari cara membunuh Voidling. Peluru tajam, api, bahkan semburan asam—semuanya bisa membunuh makhluk itu. Dan mereka mulai menang… sedikit.

Tapi untuk setiap Voidling yang mati, sepuluh muncul menggantikan. Mereka seperti kabut: tak bisa dihentikan, tak bisa dihindari.

Namun bukan itu yang paling mengerikan.

Yang paling mengerikan adalah—prosesnya.

Voidling tak hanya membunuh. Mereka membungkus. Menyanyikan lagu, menenangkan jiwa, meninabobokan harapan. Dan mereka yang tersentuh lagu itu akan datang dengan sukarela, menyerahkan tubuhnya, membiarkan diri dibalut benang kosmik menjadi kepompong.

Namun terkadang, proses itu terganggu. Seseorang menembak Voidling saat proses pembungkusan tengah berlangsung. Atau ada ledakan yang membuat benang kosmik putus. Saat itulah… mereka yang hampir menjadi Voidling namun gagal, berubah.

Seorang tentara—salah satu yang pertama—mengalami hal itu. Ia hampir terbungkus, lalu rekannya membunuh Voidling tersebut untuk menyelamatkannya. Yang terjadi selanjutnya adalah teror: Tentara itu berteriak. Tapi bukan teriakan manusia. Itu seperti suara dari kedalaman lautan yang berkarat. Ia menangis, tertawa, memukul wajahnya sendiri, mencakar kulit, menancapkan pisau ke tubuhnya. Matanya kosong. Tapi tubuhnya penuh rasa yang tidak bisa dijelaskan. Ia akhirnya mati. Tapi tidak seperti manusia.

Fenomena itu membuat semua pasukan gentar. Mereka mulai bingung, apakah menyelamatkan berarti membunuh? Apakah membiarkan berarti mengampuni?

Dan Oru… tetap diam di tempatnya. Namun jika ia merasa terlalu banyak Voidling mati di satu tempat, maka dari jauh—satu bola hitam akan datang. Dan tidak akan ada yang tersisa.

Manusia mulai meragukan perang ini. Beberapa menyerah. Beberapa menyerahkan diri. Dan beberapa… masih bertahan.

Hari ke-500 sejak Oru turun ke bumi.

Tak ada lagi yang mempertanyakan siapa dia. Tak ada lagi yang mencoba berdialog. Semua sudah tahu: jika suara lagu mulai terdengar, meski samar, maka itu berarti satu hal—Voidling sedang mendekat.

Manusia tidak saling mencurigai. Tidak perlu. Karena tidak ada manusia yang dikendalikan oleh Oru atau Voidling. Tidak ada pengkhianat. Tidak ada mata-mata. Musuh mereka nyata, dan murni: Voidling, dan sang Oru.

Oru sendiri masih duduk di tempat pertama ia muncul. Tidak bergerak. Namun dari sana, ia dapat melihat seluruh dunia. Setiap Voidling yang mati, ia ketahui. Setiap perlawanan, ia sadari. Dan untuk setiap pemberontakan, satu bola hitam dikirimkan. Jauh. Akurat. Mematikan.

Dunia sudah tidak lagi seperti dulu. Kota-kota berubah menjadi hutan liar. Bangunan runtuh diselimuti bunga-bunga liar yang tumbuh dari langkah Voidling. Jalan-jalan dilapisi karpet rumput. Tanah yang dulu mati kini hidup kembali—namun bukan untuk manusia.

Manusia bersembunyi di terowongan, bunker, reruntuhan. Mereka membentuk koloni-koloni kecil. Komunitas bertahan hidup. Sekelompok kecil manusia yang mencoba hidup dengan satu prinsip: hindari lagu itu.

Namun Voidling bukan sekadar pemburu. Mereka penyanyi. Dan lagu mereka—semakin banyak Voidling berkumpul, semakin merdu, semakin kuat, semakin tak tertahankan.

Mereka tidak berteriak. Mereka tidak menyerang duluan. Mereka hanya berjalan perlahan, menyanyikan lagu yang terdengar seperti bisikan kasih dari langit.

Dan jika kau tidak segera menjauh, maka… kepompong akan menanti.

Hari ke-777.

Tiga pasang kaki kecil, satu pasang kaki besar, dan empat tapak kaki berbulu berjalan perlahan di antara salju. Mereka berjalan tanpa suara. Tak ada keluhan. Tak ada tangisan. Yang terdengar hanya desir angin dan salju yang mengeras di bawah sepatu mereka.

Seorang pria—ayah—berjalan paling depan. Di belakangnya, dua anak perempuan: satu berusia delapan tahun, satu lagi lima belas. Di sisi mereka, seekor anjing besar berwarna coklat tua, dengan mata setia yang terus menatap ke depan.

Mereka bukan pelarian pertama. Tapi mereka adalah sedikit dari yang tersisa.

Tujuan mereka: Alaska. Tempat yang konon masih menyimpan manusia. Tempat yang konon memiliki harapan. Tak ada yang tahu apakah itu nyata. Namun jika tidak ada harapan, apa lagi yang bisa mereka miliki? Langit di atas mereka pucat. Putih. Dingin. Tanpa suara. Tanpa lagu. Dan itu… membuat mereka tenang.

Tapi tidak untuk lama.

Langkah-langkah bunga dan akar mulai muncul di kejauhan. Dan di antara salju yang putih, satu makhluk muncul perlahan. Voidling.

Ia berjalan tanpa tergesa. Bernyanyi tanpa suara. Dan bunga-bunga mulai tumbuh dari salju, membentuk jalur seperti karpet indah. Ayah berdiri di depan anak-anaknya. Anjing mereka menggeram pelan. Anak-anak menggenggam tangan ayah mereka lebih erat.

Perjalanan belum usai. Tapi kematian… selalu menunggu di balik keindahan.

Seraphim. Part I

Dunia sudah terlalu banyak rusak. ini sudah terlalu lama menjerit. Udara dipenuhi debu kebencian, tanah penuh darah, dan hati manusia sekeras baja. Seorang pria—sebut saja Raka—berlari tergesa menuju kantornya. Ia terlambat. Lagi. Tapi pagi itu, waktu terasa tak pentingluka yang tak sembuh, dan jiwa manusia kian hari makin menyerupai baja: dingin, keras, dan tak lagi bergema.

Saat ia duduk, napas masih terengah, ia sadar… semua orang berdiri menatap ke luar jendela. Di antara kesibukan pagi yang seperti biasa, seorang pria bernama Raka berlari tergesa menuju kantornya. Ia terlambat. Lagi. Tapi pagi itu, waktu terasa tak penting. Langkahnya terhenti ketika tiba di lantai kerjanya. Semua rekan kerjanya berdiri mematung, menghadap ke jendela yang menghadap kota. Mereka membisu. Beberapa menganga. Ada pula yang mulai menangis.

"Ada apa?" gumamnya, lalu ia menoleh juga.

Raka ikut menoleh. Dan di sanalah dia melihatnya.

Langit… terbuka. Bukan oleh cahaya. Tapi oleh sosok.

Satu sosok. Jauh di langit. Terlalu besar untuk disebut manusia, terlalu tenang untuk disebut ancaman. Tingginya seperti menantang cakrawala. Ia duduk bersila, melayang di atas pusat kota. Tubuhnya kurus kering, bagaikan tulang yang dibalut kulit keabu-abuan.

Sosok tinggi, kurus, duduk bersila namun melayang. Wajahnya kosong, tak berfitur, namun di sanalah terekam gambaran kosmik: galaksi yang perlahan berputar, bintang-bintang mati, dan kehampaan yang berbicara dalam diam. Di punggungnya, menyala simbol yang tak dikenalWajahnya… tidak ada. Tak ada mata, hidung, bibir. Hanya permukaan datar yang menampilkan gambaran kosmik: pusaran galaksi yang bergerak perlahan, kilatan bintang yang padam dan menyala, dan kehampaan yang menghisap pandangan.

Namanya—tak diberi oleh manusiaDi punggungnya, bercahaya samar sebuah simbol. Tak dikenal. Tak bisa dijelaskan. Tapi seolah menyatu dengan langit.

Ia menyebut dirinya: Oru. Tidak berbicara. Ia tidak bergerak. Tapi kehadirannya… menggetarkan nadi semesta.Tak lama kemudian, langit mulai menyanyikan lagu. Nada tenang, lembut, sejuk. Membungkus setiap celah kota. Membelai jiwa. Dan satu demi satu, manusia mulai jatuh diam. Tidak tidur. Tidak pingsan. Mereka hanya... tunduk.

Sosok itu tidak memberi nama. Namun kemudian, suara muncul dalam pikiran semua makhluk hidup, serempak, lembut seperti bisikan alam:

“Oru.”

Raka duduk. Tangannya bergetar pelan. Sementara sekelilingnya—kolega, teman, orang-orang asing yang ia tak pernah sapa lebih dari sepatah kata—semuanya berdiri mematung, mata mereka masih tertuju ke luar jendela.Di luar, Oru melayang. Diam. Tak bergerak. Namun dari dirinya, sebuah lagu mengalun—merambat ke seluruh penjuru kota.

Nada itu lembut, mendalam, dan menghipnotis. Lagu tanpa bahasa, namun semua jiwa seperti memahaminya. Lagu itu tidak hanya terdengar, tapi terasa. Merambat dalam dada, membelai nadi, masuk ke sela-sela pikiran, membisiki bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Beberapa karyawan mulai menangis. Bukan karena takut. Tapi karena keindahan yang menyesakkan. Mata mereka berkaca, senyum samar terbit di wajah mereka. Ada yang bersimpuh, ada yang menadahkan tangan ke langit seolah baru saja melihat ilahi.

Namun Raka... masih bisa bergerak. Masih sadar. Hatinya berdegup kencang. Sejuk itu terasa palsu.

Dan kemudian...

Ia melihatnya.

Makhluk-makhluk kecil mulai berjalan keluar dari bawah tubuh Oru. Tubuh mereka tipis seperti ranting kering, tak memiliki wajah, dan kulitnya seakan tersusun dari jalinan akar dan cahaya. Mereka melangkah perlahan, dan setiap langkah menumbuhkan rumput serta bunga-bunga yang luar biasa indah.

Makhluk itu bernyanyi. Lagu yang sama. Nada yang sama. Dan kota mulai terisi oleh mereka.

"Apa itu…?" bisik Raka.

Orang-orang di luar mulai berjalan pelan. Mata kosong, wajah damai. Mereka mendekati Voidling seperti mendekati kekasih lama.

Voidling membuka tangannya. Dan dari tubuh mereka, muncul semacam benang kosmik. Benang itu menyelimuti manusia yang datang, membungkus tubuh mereka perlahan, seperti kepompong.

Raka mundur. Menabrak meja. Napasnya pendek.

Orang-orang di kantor mulai bergerak menuju pintu keluar. Termasuk atasannya. Teman kerjanya. Semua. Ia berteriak, "Berhenti! Hei!"

Tak ada yang menjawab.

Raka lari. Ia tidak sendiri. Beberapa orang juga tidak terpengaruh sepenuhnya. Mereka menangis, menjerit, dan berlari menjauh dari pusat kota.

Tapi Voidling menyebar.

Dan Oru… membuka matanya. Bukan, bukan mata sungguhan. Tapi pusaran kosmik di wajahnya mulai menyala. Ia mengangkat tangannya perlahan.

Langit menghitam. Dan dari langit, sebuah bola hitam jatuh.

Gedung-gedung hancur. Tanah terbelah. Jalan-jalan berubah menjadi kawah besar. Tapi anehnya—kepompong-kepompong itu tetap utuh.

Dari dalam kepompong, lahir Voidling baru.

Dan akhirnya… tak ada yang selamat.

Tidak ada catatan. Tidak ada laporan. Tidak ada siaran berita. Hanya dua pilihan: Menjadi Voidling, atau mati.

Dan Raka… tidak sempat memilih.