Halaman

Jumat, 04 Juli 2025

Seraphim. Final Chapter

Suara Oru menghilang. Atau mungkin disenyapkan oleh jarak yang kian menjauh. Atau mungkin Oru membiarkan manusia berpikir bahwa mereka telah aman.

Ayah duduk bersandar di tumpukan kayu di dalam mobil lapis baja yang dikendarai kelompok penyelamatnya. Luka-lukanya sudah dibalut. Seorang perempuan muda, dengan wajah teduh dan suara lembut, mengoleskan salep pada bekas lecet di bahunya. Cara ia berbicara, caranya menatap... membuat ayah teringat pada seseorang yang telah lama hilang. Istrinya. Senyum kecil yang sama. Sentuhan yang menenangkan. Mata yang memandang dengan rasa takut namun tetap penuh cinta.

Kelompok itu terdiri dari tujuh orang. Dua di antaranya mantan tentara. Dua lainnya dokter lapangan. Tiga sisanya—sipil yang tersisa. Masing-masing dengan bekas luka dan kehilangan. Tapi juga dengan kekuatan yang tak bisa dijelaskan. Mereka menempuh perjalanan panjang: menyusuri reruntuhan kota, melintasi hutan kosong, dan menyeberangi laut yang nyaris beku. Mereka berbagi makanan, bercerita dalam gumam singkat, dan saling berjaga saat malam datang.

Setelah 45 jam perjalanan, mereka tiba di ujung benua: Alaska. Salju menyelimuti segalanya. Tidak ada kehidupan, tidak ada suara. Namun di balik lereng es yang menjulang, tampak sesuatu seperti dinding besi mencuat dari permukaan tanah.

Sebuah bunker.

Pintu baja terbuka. Di dalamnya terang. Hangat. Hidup. Puluhan manusia berjalan dengan langkah cepat. Ada dapur. Ada ruang medis. Ada anak-anak. Ada suara tawa kecil—meskipun terbungkam rasa takut. Ada harapan.

Ayah terdiam saat memasuki ruangan itu. Dunia seperti kembali sebelum semua musnah. Untuk pertama kalinya dalam ratusan hari, ia tidak merasa sendiri.

Seseorang menyambut mereka. Seorang lelaki tua dengan jas lab dan kacamata retak. Ia memperkenalkan dirinya sebagai salah satu ilmuwan yang sedang bekerja keras mengembangkan sesuatu: serum.

"Kami hampir menemukannya," katanya, "cara untuk membalikkan mereka—Voidling—kembali menjadi manusia."

Ayah menatap mata lelaki itu. Ia tidak berani berharap. Namun untuk pertama kalinya... Ia ingin percaya.

Hari-hari di dalam bunker berjalan tenang, berbeda dengan dunia luar yang telah menjadi taman kematian. Bunker itu dulunya adalah fasilitas nuklir tua di Alaska, dibangun jauh sebelum kemunculan Oru. Para ilmuwan, tentara, dan warga sipil berhasil mengamankannya, menyulapnya menjadi tempat perlindungan. Mereka menemukan sisa-sisa persediaan militer, laboratorium dingin bawah tanah, serta cadangan makanan beku dan turbin tenaga panas bumi.

Ayah tidak banyak bicara di hari-hari awal. Ia lebih sering mengamati. Ia kadang duduk di ruang tengah, melihat orang-orang bercengkerama, tertawa, dan bahkan bermain gitar. Beberapa anak berlarian. Di satu sudut, ia sering bertemu dengan perempuan yang dulu mengobatinya. Mereka saling menyapa. Kadang makan di meja yang sama. Tapi tidak lebih. Ada sesuatu yang tidak pernah bisa mereka bicarakan. Terlalu banyak luka untuk dijahit dengan percakapan ringan.

Tujuh hari setelah kedatangan ayah, para ilmuwan akhirnya berhasil menyempurnakan serum. Dengan tubuh gemetar, mereka menyuntikkan serum pada satu Voidling yang telah mereka tangkap diam-diam di dekat gunung es. Awalnya tidak ada yang terjadi. Namun perlahan, tubuh Voidling itu mulai berubah. Dari akar-akarnya yang menggeliat, dari kulit putih polosnya, mulai muncul warna. Otot. Daging. Kulit manusia.

Lelaki tua. Seorang pria sipil yang dahulu telah hilang. Ia kembali.

Ruangan penuh sorak. Air mata membanjiri pipi banyak orang. Harapan tak lagi semu.

Di ruang rapat, salah satu pasukan—seorang pria dengan janggut tipis dan suara keras—berbicara sambil menunjuk peta dunia digital yang masih bisa diakses dari satelit cuaca lama.

“Kita tidak akan berdiam diri di sini. Serum ini akan kita bawa ke setiap benua, setiap kota, setiap reruntuhan. Kita akan menyuntikkan harapan ke tubuh dunia yang nyaris mati. Kita akan menang. Kita akan ambil kembali planet ini.”

Semua orang bersorak. Tapi ayah diam. Ayah ditawari bergabung. Ia tidak menolak. Ia dan perempuan itu masuk dalam tim ekspedisi. Kapal-kapal ekspedisi disiapkan. Lima armada menuju lima arah berbeda. Ayah dan perempuan itu tergabung dalam satu kapal.

Hari keberangkatanpun tiba. Seluruh pasukan telah bersiap untuk berlayar.

Namun tak lama setelah kapal-kapal berlayar, satu per satu meledak. Api menyambar es. Lalu... bunker itu sendiri meledak. Kapal tempat ayah berada ikut terguncang. Api menjalar dari ruang mesin dan menyapu sebagian dek. Orang-orang berlarian, terbakar hidup-hidup. Ayah berdiri tenang di tengahnya, api menjauh seperti terhalang sesuatu. Dua sayap hitam membungkus tubuhnya. Sayap yang bukan milik manusia.

Perempuan itu terhempas ke dinding baja, tubuhnya penuh luka, sekarat. Ia melihat kehancuran itu. Ia melihat mayat-mayat terbakar. Ia melihat pria itu—ayah—berdiri sendirian di antara kehancuran, tak terluka.

“Kenapa?” tanyanya, napasnya berat. “Kenapa kau...?”

Ayah berdiri. Tubuhnya tegak. Di tangannya, tiga botol serum tersisa. Matanya kosong, tapi dalam. Kosmik. Dingin.

“Aku pernah mempercayai manusia,” katanya. “Tapi manusia... mereka tidak butuh penyelamatan. Mereka hanya ingin menang. Hanya ingin berkuasa. Bahkan serum ini... mereka ingin menggunakannya untuk menciptakan senjata baru.”

Perempuan itu menggeleng. Air matanya membaur dengan darah.

“Mereka ingin menyelamatkan...”

“Aku telah melihat dunia lain. Aku telah mendengar suara yang tidak berdusta.” kata ayah

Ia melangkah mundur. Tubuhnya mulai melayang.

“Dunia yang damai bukan dunia di mana manusia menang. Tapi di mana manusia berhenti menjadi manusia. Dunia yang penuh bunga. Lagu. Dan keheningan.”

Ia terbang menuju pegunungan es. Di sana, dua Voidling berdiri. Ia tahu mereka. Anak-anaknya.

Ia menyuntikkan serum ke masing-masing tubuh kecil itu. Dan dalam pelukannya, mereka kembali. Dua anak perempuan yang kini berdiri di sisinya. Satu menangis. Satunya menatap kosong.

Ia menggenggam tangan mereka. Terbang ke arah cahaya.

Di atas puncak dunia, Oru duduk bersila, melayang, menanti. Ayah menunduk. Memberikan serum terakhir ke tangan Oru.

Dan Oru pun berbicara. Suara yang menggema seperti puisi akhir dunia:

“Kini sunyi telah penuh. Duri telah berganti bunga. Jerit telah diganti kidung. Dan kematian adalah pintu yang benar.”

“Wahai tanah yang menjerit dalam perang, Lihatlah kedamaian yang kami bawa. Tak ada luka. Tak ada dosa. Hanya taman yang tak lagi menangis.”

“Aku—bukan dewa. Aku hanyalah penutup luka lama.”

“Maka biarlah kami pergi. Biarlah bumi diam. Dan biarlah sejarah ini dilupakan.”

Oru dan ketiga herald-nya terbang meninggalkan bumi. Langit kembali kosong.

EPILOG – SISAKU ADALAH AWALMU

Di bawah reruntuhan bunker, di antara asap dan es, seseorang bangkit perlahan. Tubuhnya masih penuh luka. Namun ia hidup. Ia adalah manusia pertama yang disuntik.

Ia mengenakan jaket tebal. Menatap ke langit beku. Dan melangkah.

Sendiri.

Tapi mungkin, itu cukup.

TAMAT

Seraphim. Part IV

Langkahnya terayun tanpa jiwa. Tubuhnya bergerak, tapi wajahnya kosong. Mata menatap tanah beku yang tidak lagi bermakna. Ia tidak tahu ke mana harus pergi. Ia tidak tahu mengapa masih hidupAyah berjalan. Tubuhnya utuh, tapi jiwanya patah.

Yang ia tahu hanya satu: AlaskaLangkah-langkahnya tidak memiliki tujuan. Hanya membelah salju yang terlalu diam, terlalu sunyi. Dunia di sekitarnya seperti kehilangan suara. Tidak ada burung. Tidak ada suara hembusan angin. Bahkan suara napasnya sendiri terasa asing. Ia hanya tahu satu arah: maju.

Langkahnya terseok di salju yang tebal, tubuhnya terguncang oleh hawa dingin yang menggigit. Darah dari lututnya telah membeku. Jari-jari kaku. Tapi ia terus berjalanIa tidak tahu sudah berapa jam berjalan. Atau hari. Waktu sudah menjadi abstrak.

Tanpa makan. Tanpa minum. Tanpa bicara.

Kakinya mulai berdarah. Sepatunya sudah tak berbentuk. Telapak kaki retak, berdarah, membeku. Ia sesekali terjatuh, menubruk batu atau batang kayu yang tertutup salju. Tapi ia bangkit. Tidak dengan semangat. Hanya karena tubuhnya tidak tahu cara menyerah.

Di kejauhan, langit tidak lagi biru. Tidak juga abu. Hanya putih pekat yang menyatu dengan tanah. Seolah dunia dilukis oleh tangan yang sama dengan satu warna saja: kehampaan.

Kumo tidak ada. Anak-anaknya tidak ada.Rumah itu sudah tidak ada.

Dunia pun seperti berhenti berputar. Lagu-lagu Voidling masih jauh di belakang. Tapi sunyi di depan pun tak membawa harapanIa menatap tangan kanannya. Telapak itu masih mengingat bagaimana rasanya menyentuh kepala anak sulungnya terakhir kali. Tangannya masih terasa menggenggam gas motor saat ia meninggalkan mereka. Dan sekarang tangan itu... hanya menggenggam dingin.

Akhirnya, tubuh itu jatuh. Wajahnya mencium tanah beku. Ia menangis tanpa suara, air mata membeku di pipi. Dan perlahan, kesadarannya menghilang, ditelan putihnya kehampaan.

Sesekali ia berhenti, berdiri di tempat, menatap cakrawala yang tidak menawarkan apa pun. Mungkin ia berharap melihat Oru di langit, atau Voidling di jalan, atau siapa pun... tapi tidak ada siapa-siapa.Ia berteriak. Namun suaranya tidak keluar. Air mata mengalir tanpa izin. Membeku di pipi. Matanya merah, tapi bukan karena menangis. Karena kehilangan arah.

Akhirnya ia roboh. Tubuhnya jatuh menyamping, wajahnya mencium es keras. Tidak ada tangan yang menangkap. Tidak ada suara yang menyahut. Ia hanya berbaring di sana seperti potongan tubuh tak bernyawa.

Di dalam kepalanya hanya gema satu kalimat: “Untuk apa aku hidup?”

Kesadarannya perlahan memudar. Dan dunia kembali sunyi.

Terbangun di tempat asing sudah terlalu sering terjadi di dunia ini.

Namun kali ini, ayah terbangun bukan dalam dunia nyata. Ia tahu itu.

Tanah di sekitarnya mengambang. Udara seperti air. Langit seperti laut. Namun segalanya tenang. Seolah-olah ia sedang berada di dalam mimpi yang dibentuk oleh ingatan, kesedihan, dan ketakutan.

Di kejauhan, sesosok tinggi muncul perlahan dari kabut kosmik. Langkahnya nyaris tidak terdengar. Wujudnya menyerupai manusia yang duduk bersila, tinggi menjulang, kurus, dan melayang. Tak memiliki wajah. Namun di tempat wajahnya, ada pemandangan langit malam, galaksi-galaksi berputar perlahan di dalamnya. Di punggungnya, ada simbol—entah lambang atau makna dari keberadaan itu.

Ayah berdiri. Matanya menatap tanpa berkedip. Tenggorokannya tercekat.

Oru.

Untuk pertama kalinya, manusia dan Oru berhadapan.

Entitas itu tak bergerak. Tapi tiba-tiba, suara muncul. Bukan seperti suara biasa, melainkan lantunan kata yang turun seperti bait-bait puisi. Dalam, berat, dan indah... namun mengerikan dalam keheningan.

“Anak angin yang kehilangan sayap...
Mengapa melawan peluk damai? Bukankah luka akan lenyap,
Jika kau diam dalam dekapan?”

Ayah tidak mengerti sepenuhnya. Tapi hatinya terasa tertusuk. Setiap kata mengalun seperti bisikan dari surga yang palsu.

Ia membalas dengan suara parau. “Kau pembunuh.”

Oru diam.

“Semua orang... keluargaku... mereka semua kau ambil. Lalu kau nyanyikan lagu kematian. Itu bukan damai. Itu genosida. Itu kehancuran!”

Oru perlahan mengangkat tangan kanannya. Tidak mengancam, hanya menunjuk ke dada ayah. Suaranya kembali muncul.

“Yang kau sebut keluarga—telah tersenyum dalam tidur. Mereka tak lagi menangis. Mereka telah menjadi bagian dari bunga yang tak layu. Bukankah cinta adalah melepas—bukan menggenggam?”

Ayah menggertakkan giginya. Tapi ada celah di hatinya. Sebuah suara kecil yang mempertanyakan: “Apakah benar semua ini untuk kedamaian?”

Oru melanjutkan:

“Aku bukan penguasa, bukan pula penjajah. Aku hanyalah benih yang tumbuh di bumi rusak. Dan dari tanah yang busuk, aku menumbuhkan taman. Namun untuk taman hidup, gulma harus dibersihkan.”

Ayah mulai goyah. Genggamannya melemah. Tatapannya kabur.

Oru mendekat.

“Menjadi tanganku, menjadi mataku. Menjadi sang penyampai lagu. Kau bisa membawa damai, bukan duka. Bersatulah dalam diriku.”

Ayah merasa tubuhnya melayang. Dunia menjadi ringan. Wajah anak-anaknya... seperti tersenyum di antara kabut. Ia hampir mengangguk.

Namun tiba-tiba—

Teriakan. Guyuran air dingin.

Ayah terkejut, tubuhnya mengangkat dari tanah. Matanya terbuka. Napasnya memburu.

Ia tidak lagi di dunia itu. Ia kembali.

Beberapa orang berdiri di sekelilingnya. Satu dari mereka memegang ember kosong. Yang lain membawa senjata.

“Kau hidup,” kata salah satunya. “Kami menemukannmu di salju. Hampir beku. Ayo, kita harus pergi. Ke Alaska. Sekarang.”

Ayah hanya bisa terdiam. Tubuhnya menggigil. Namun satu hal pasti: Oru telah menyentuh pikirannya. Dan bekasnya belum tentu bisa dihapus.